Sabtu, 16 Juli 2011

BAHAYA MEROKOK

Setiap kali menghirup asap rokok, entah sengaja atau tidak, berarti juga mengisap lebih dari 4.000 macam racun! Karena itulah, merokok sama dengan memasukkan racun-racun tadi ke dalam rongga mulut dan tentunya paru-paru. Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita mungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan merokok bukan saja merugikan si perokok, tetapi juga bagi orang di sekitarnya.



Saat ini jumlah perokok, terutama perokok remaja terus bertambah, khususnya di negara-negara berkembang. Keadaan ini merupakan tantangan berat bagi upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Bahkan organisasi kesehatan sedunia (WHO) telah memberikan peringatan bahwa dalam dekade 2020-2030 tembakau akan membunuh 10 juta orang per tahun, 70% di antaranya terjadi di negara-negara berkembang.
Melalui resolusi tahun 1983, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan tanggal 31 Mei sebagai Hari Bebas Tembakau Sedunia setiap tahun.

Bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh telah diteliti dan dibuktikan oleh banyak orang. Efek-efek yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui dengan jelas. Banyak penelitian membuktikan bahwa kebiasaan merokok meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit. Seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker osefagus, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi, serta gangguan kehamilan dan cacat pada janin.

Penelitian terbaru juga menunjukkan adanya bahaya dari secondhand-smoke, yaitu asap rokok yang terhirup oleh orang-orang bukan perokok karena berada di sekitar perokok, atau biasa disebut juga dengan perokok pasif.

ZAT KIMIA
Rokok tentu tidak dapat dipisahkan dari bahan baku pembuatannya, yakni tembakau. Di Indonesia, tembakau ditambah cengkih dan bahan-bahan lain dicampur untuk dibuat rokok kretek. Selain kretek, tembakau juga dapat digunakan sebagai rokok linting, rokok putih, cerutu, rokok pipa, dan tembakau tanpa asap (chewing tobacco atau tembakau kunyah).
Komponen gas asap rokok adalah karbon monoksida, amoniak, asam hidrosianat, nitrogen oksida, dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, indol, nikotin, karbarzol, dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi, dan menimbulkan kanker (karsinogen).

NIKOTIN
Zat yang paling sering dibicarakan dan diteliti orang, meracuni saraf tubuh, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan penyempitan pembuluh darah tepi, dan menyebabkan ketagihan dan ketergantungan pada pemakainya. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Di Amerika Serikat, rokok putih yang beredar di pasaran memiliki kadar 8-10 mg nikotin per batang, sementara di Indonesia berkadar nikotin 17 mg per batang.

TIMAH HITAM (Pb)
Timah hitam yang dihasilkan oleh sebatang rokok sebanyak 0,5 ug. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis diisap dalam satu hari akan menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas bahaya timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari. Bisa dibayangkan, bila seorang perokok berat menghisap rata-rata 2 bungkus rokok per hari, berapa banyak zat berbahaya ini masuk ke dalam tubuh!

GAS KARBONMONOKSIDA (CO)
Karbon Monoksida memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah. Seharusnya, hemoglobin ini berikatan dengan oksigen yang sangat penting untuk pernapasan sel-sel tubuh, tapi karena gas CO lebih kuat daripada oksigen, maka gas CO ini merebut tempatnya “di sisi” hemoglobin. Jadilah, hemoglobin bergandengan dengan gas CO. Kadar gas CO dalam darah bukan perokok kurang dari 1 persen, sementara dalam darah perokok mencapai 4 – 15 persen. Berlipat-lipat!

TAR
Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat asap rokok, dan bersifat karsinogen. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin, akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna cokelat pada permukaan gigi, saluran pernapasan, dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24 – 45 mg.

DAMPAK PARU-PARU
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli.

Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit obstruksi paru menahun (PPOM). Dikatakan merokok merupakan penyebab utama timbulnya PPOM, termasuk emfisema paru-paru, bronkitis kronis, dan asma.

Hubungan antara merokok dan kanker paru-paru telah diteliti dalam 4-5 dekade terakhir ini. Didapatkan hubungan erat antara kebiasaan merokok, terutama sigaret, dengan timbulnya kanker paru-paru. Bahkan ada yang secara tegas menyatakan bahwa rokok sebagai penyebab utama terjadinya kanker paru-paru.

Partikel asap rokok, seperti benzopiren, dibenzopiren, dan uretan, dikenal sebagai bahan karsinogen. Juga tar berhubungan dengan risiko terjadinya kanker. Dibandingkan dengan bukan perokok, kemungkinan timbul kanker paru-paru pada perokok mencapai 10-30 kali lebih sering.

DAMPAK TERHADAP JANTUNG
Banyak penelitian telah membuktikan adanya hubungan merokok dengan penyakit jantung koroner (PJK). Dari 11 juta kematian per tahun di negara industri maju, WHO melaporkan lebih dari setengah (6 juta) disebabkan gangguan sirkulasi darah, di mana 2,5 juta adalah penyakit jantung koroner dan 1,5 juta adalah stroke. Survei Depkes RI tahun 1986 dan 1992, mendapatkan peningkatan kematian akibat penyakit jantung dari 9,7 persen (peringkat ketiga) menjadi 16 persen (peringkat pertama).

Merokok menjadi faktor utama penyebab penyakit pembuluh darah jantung tersebut. Bukan hanya menyebabkan penyakit jantung koroner, merokok juga berakibat buruk bagi pembuluh darah otak dan perifer.

Asap yang diembuskan para perokok dapat dibagi atas asap utama (main stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap utama merupakan asap tembakau yang dihirup langsung oleh perokok, sedangkan asap samping merupakan asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas, yang akan dihirup oleh orang lain atau perokok pasif.

Telah ditemukan 4.000 jenis bahan kimia dalam rokok, dengan 40 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), di mana bahan racun ini lebih banyak didapatkan pada asap samping, misalnya karbon monoksida (CO) 5 kali lipat lebih banyak ditemukan pada asap samping daripada asap utama, benzopiren 3 kali, dan amoniak 50 kali. Bahan-bahan ini dapat bertahan sampai beberapa jam lamanya dalam ruang setelah rokok berhenti.

Umumnya fokus penelitian ditujukan pada peranan nikotin dan CO. Kedua bahan ini, selain meningkatkan kebutuhan oksigen, juga mengganggu suplai oksigen ke otot jantung (miokard) sehingga merugikan kerja miokard.

Nikotin mengganggu sistem saraf simpatis dengan akibat meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya. Nikotin mengaktifkan trombosit dengan akibat timbulnya adhesi trombosit (penggumpalan) ke dinding pembuluh darah.

Karbon monoksida menimbulkan desaturasi hemoglobin, menurunkan langsung persediaan oksigen untuk jaringan seluruh tubuh termasuk miokard. CO menggantikan tempat oksigen di hemoglobin, mengganggu pelepasan oksigen, dan mempercepat aterosklerosis (pengapuran/penebalan dinding pembuluh darah). Dengan demikian, CO menurunkan kapasitas latihan fisik, meningkatkan viskositas darah, sehingga mempermudah penggumpalan darah.
Nikotin, CO, dan bahan-bahan lain dalam asap rokok terbukti merusak endotel (dinding dalam pembuluh darah), dan mempermudah timbulnya penggumpalan darah. Di samping itu, asap rokok mempengaruhi profil lemak. Dibandingkan dengan bukan perokok, kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida darah perokok lebih tinggi, sedangkan kolesterol HDL lebih rendah.

PENYAKIT JANTUNG KORONER
Merokok terbukti merupakan faktor risiko terbesar untuk mati mendadak.
Risiko terjadinya penyakit jantung koroner meningkat 2-4 kali pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Risiko ini meningkat dengan bertambahnya usia dan jumlah rokok yang diisap. Penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko merokok bekerja sinergis dengan faktor-faktor lain, seperti hipertensi, kadar lemak atau gula darah yang tinggi, terhadap tercetusnya PJK.

Perlu diketahui bahwa risiko kematian akibat penyakit jantung koroner berkurang dengan 50 persen pada tahun pertama sesudah rokok dihentikan. Akibat penggumpalan (trombosis) dan pengapuran (aterosklerosis) dinding pembuluh darah, merokok jelas akan merusak pembuluh darah perifer.
PPDP yang melibatkan pembuluh darah arteri dan vena di tungkai bawah atau tangan sering ditemukan pada dewasa muda perokok berat, sering akan berakhir dengan amputasi.

PENYAKIT (STROKE)
Penyumbatan pembuluh darah otak yang bersifat mendadak atau stroke banyak dikaitkan dengan merokok. Risiko stroke dan risiko kematian lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok.

Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris, didapatkan kebiasaan merokok memperbesar kemungkinan timbulnya AIDS pada pengidap HIV. Pada kelompok perokok, AIDS timbul rata-rata dalam 8,17 bulan, sedangkan pada kelompok bukan perokok timbul setelah 14,5 bulan. Penurunan kekebalan tubuh pada perokok menjadi pencetus lebih mudahnya terkena AIDS sehingga berhenti merokok penting sekali dalam langkah pertahanan melawan AIDS.
Kini makin banyak diteliti dan dilaporkan pengaruh buruk merokok pada ibu hamil, impotensi, menurunnya kekebalan individu, termasuk pada pengidap virus hepatitis, kanker saluran cerna, dan lain-lain. Dari sudut ekonomi kesehatan, dampak penyakit yang timbul akibat merokok jelas akan menambah biaya yang dikeluarkan, baik bagi individu, keluarga, perusahaan, bahkan negara.

Penyakit-penyakit yang timbul akibat merokok mempengaruhi penyediaan tenaga kerja, terutama tenaga terampil atau tenaga eksekutif, dengan kematian mendadak atau kelumpuhan yang timbul jelas menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan. Penurunan produktivitas tenaga kerja menimbulkan penurunan pendapatan perusahaan, juga beban ekonomi yang tidak sedikit bagi individu dan keluarga. Pengeluaran untuk biaya kesehatan meningkat, bagi keluarga, perusahaan, maupun pemerintah.
KEBIASAAN MEROKOK
Sudah seharusnya upaya menghentikan kebiasaan merokok menjadi tugas dan tanggung jawab dari segenap lapisan masyarakat. Usaha penerangan dan penyuluhan, khususnya di kalangan generasi muda, dapat pula dikaitkan dengan usaha penanggulangan bahaya narkotika, usaha kesehatan sekolah, dan penyuluhan kesehatan masyarakat pada umumnya.
Tokoh-tokoh panutan masyarakat, termasuk para pejabat, pemimpin agama, guru, petugas kesehatan, artis, dan olahragawan, sudah sepatutnya menjadi teladan dengan tidak merokok. Perlu pula pembatasan kesempatan merokok di tempat-tempat umum, sekolah, kendaraan umum, dan tempat kerja; pengaturan dan penertiban iklan promosi rokok; memasang peringatan kesehatan pada bungkus rokok dan iklan rokok.
Iklim tidak merokok harus diciptakan. Ini harus dilaksanakan serempak oleh kita semua, yang menginginkan tercapainya negara dan bangsa Indonesia yang sehat dan makmur.

GERBANG NARKOBA
Akibat kronik yang paling gawat dari penggunaan nikotin adalah ketergantungan. Sekali seseorang menjadi perokok, akan sulit mengakhiri kebiasaan itu baik secara fisik maupun psikologis. Merokok menjadi sebuah kebiasaan yang kompulsif, dimulai dengan upacara menyalakan rokok dan menghembuskan asap yang dilakukan berulang-ulang.

Karena sifat adiktifnya (membuat seseorang menjadi ketagihan) rokok dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM IV) dikelompokkan menjadi Nicotine Related Disorders. Sedangkan WHO menggolongkannya sebagai bentuk ketagihan. Proses farmakologis dan perilaku yang menentukan ketagihan tembakau sama dengan proses yang menimbulkan ketagihan pada obat, seperti heroin dan kokain.

Nikotin mempunyai sifat mempengaruhi dopamin otak dengan proses yang sama seperti obat-obatan tersebut. Dalam urutan sifat ketagihan zat psikoaktif, nikotin lebih menimbulkan ketagihan dibanding heroin, kokain, alkohol, kafein dan marijuana. Menurut Flemming, Glyn dan Ershler merokok merupakan tingkatan awal untuk menjadi penyalahguna obat-obatan (drug abuse). Mencoba merokok secara signifikan membuka peluang penggunaan obat-obatan terlarang di masa yang akan datang.

Berdasarkan data epidemiologi diketahui kurang lebih 20% dari perokok memiliki risiko delapan kali menjadi penyalahguna NAPZA, dan berisiko sebelas kali untuk menjadi peminum berat dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok. Perhatian khusus mengenai masalah ini dikaitkan dengan meningkatnya jumlah perokok remaja.

Menangani masalah kebiasaan merokok pada remaja diharapkan dapat mencegah masalah yang akan timbul dikemudian hari berkaitan kebiasaan tersebut, salah satunya adalah pencegahan penyalahgunaan narkoba. Menurut Teddy Hidayat, Spesialis Kedokteran Jiwa, Remaja yang berisiko tinggi adalah remaja-remaja yang memiliki sifat pemuasaan segera, kurang mampu menunda keinginan, merasa kosong dan mudah bosan, mudah cemas, gelisah, dan depresif.
Pemahaman tentang kebiasaan merokok dan kecenderungan sifat kepribadian seseorang akan sangat membantu upaya menghentikan kebiasaan yang merugikan tersebut. Untuk pencegahan kebiasaan merokok pada anak-anak dan remaja. Orang tua serta guru memegang peranan besar untuk mengawasi, memberikan informasi yang benar dan yang terpenting tidak menjadi contoh perilaku individu yang ketagihan kebiasaan merokok.

GANGGU KESEHATAN JIWA

Merokok berkaitan erat dengan disabilitas dan penurunan kualitas hidup. Dalam sebuah penelitian di Jerman sejak tahun 1997-1999 yang melibatkan 4.181 responden, disimpulkan bahwa responden yang memilki ketergantungan nikotin memiliki kualitas hidup yang lebih buruk, dan hampir 50% dari responden perokok memiliki setidaknya satu jenis gangguan kejiwaan. Selain itu diketahui pula bahwa pasien gangguan jiwa cenderung lebih sering menjadi perokok, yaitu pada 50% penderita gangguan jiwa, 70% pasien maniakal yang berobat rawat jalan dan 90% dari pasien-pasien skizrofen yang berobat jalan.

Berdasaran penelitian dari CASA (Columbian University`s National Center On Addiction and Substance Abuse), remaja perokok memiliki risiko dua kali lipat mengalami gejala-gejala depresi dibandingkan remaja yang tidak merokok. Para perokok aktif pun tampaknya lebih sering mengalami serangan panik dari pada mereka yang tidak merokok Banyak penelitian yang membuktikan bahwa merokok dan depresi merupakan suatu hubungan yang saling berkaitan. Depresi menyebabkan seseorang merokok dan para perokok biasanya memiliki gejala-gejala depresi dan kecemasan (ansietas).

Sebagian besar penderita depresi mengaku pernah merokok di dalam hidupnya. Riwayat adanya depresi pun berkaitan dengan ada tidaknya gejala putus obat (withdrawal) terhadap nikotin saat seseorang memutuskan berhenti merokok. Sebanyak 75% penderita depresi yang mencoba berhenti merokok mengalami gejala putus obat tersebut. Hal ini tentunya berkaitan dengan meningkatnya angka kegagalan usaha berhenti merokok dan relaps pada penderita depresi.
Selain itu, gejala putus zat nikotin mirip dengan gejala depresi. Namun, dilaporkan bahwa gejala putus obat yang dialami oleh pasien depresi lebih bersifat gejala fisik misalnya berkurangnya konsentrasi, gangguan tidur, rasa lelah dan peningkatan berat badan).

Nikotin sebagai obat gangguan kejiwaan Merokok sebagai salah satu bentuk terapi untuk gangguan kejiwaan masih menjadi perdebatan yang kontroversial. Gangguan kejiwaan dapat menyebabkan seseorang untuk merokok dan merokok dapat menyebabkan gangguan kejiwaan, walau jumlahnya sangat sedikit, sekitar 70% perokok tidak memiliki gejala gangguan jiwa.
Secara umum merokok dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi, menekan rasa lapar, menekan kecemasan, dan depresi. Dalam beberapa penelitian nikotin terbukti efektif untuk pengobatan depresi. Pada dasarnya nikotin memberikan peluang yang menjanjikan untuk digunakan sebagai obat psikoaktif. Namun nikotin memiliki terapheutic index yang sangat sempit, sehingga rentang antara dosis yang tepat untuk terapi dan dosis yang bersifat toksis sangatlah sempit.

Sehingga dipikirkan suatu bentuk pemberian nikotin tidak dalam bentuk murni tetapi dalam bentuk analognya. Namun, kerangka pemikiran pemberian nikotin sebagai obat tidaklah dalam bentuk kebiasaan merokok. Seperti halnya morfin yang digunakan sebagai obat analgesik kuat (penahan rasa sakit), pemberiannya harus dalam pengawasan dokter. Gawatnya, saat ini nikotin bisa didapatkan dengan bebas dan mudah dalam sebatang rokok, hal ini perlu diwaspadai karena kebiasaan merokok tidak lantas menjadi sebuah pembenaran untuk pengobatan gejala gangguan kejiwaan.

SISTIM REPRODUKSI
Studi tentang rokok dan reproduksi yang dilakukan sepanjang 2 dekade itu berkesimpulan bahwa merokok dapat menyebabkan rusaknya sistim reproduksi seseorang mulai dari masa pubertas sampai usia dewasa
Pada penelitian yang dilakukan Dr. Sinead Jones, direktur The British Medical Assosiation’s Tobacco Control Resource Centre, ditemukan bahwa wanita yang merokok memiliki kemungkinan relatif lebih kecil untuk mendapatkan keturunan.
pria akan mengalami 2 kali resiko terjadi infertil (tidak subur) serta mengalami resiko kerusakan DNA pada sel spermanya. Sedangkan hasil penelitian pada wanita hamil terjadi peningkatan insiden keguguran. Penelitian tersebut mengatakan dari 3000 sampai 5000 kejadian keguguran per tahun di Inggris, berhubungan erat dengan merokok.
120.000 pria di Inggris yang berusia antara 30 sampai50 tahun mengalami impotensi akibat merokok. Lebih buruk lagi, rokok berimplikasi terhadap 1200 kasus kanker rahim per tahunnya.

WANITA MEROKOK, MENOPAUSE DINI
Perempuan yang merokok sangat mungkin untuk mulai memasuki masa menopause sebelum usia 45 tahun dan juga membuat mereka menghadapi resiko osteoporosis dan serangan jantung, demikian laporan beberapa peneliti Norwegia.
“Di antara sebanyak 2.123 perempuan yang berusia 59 sampai 60 tahun, mereka yang saat ini merokok, 59% lebih mungkin mengalami menopause dini dibandingkan dengan perempuan yang tidak merokok,” kata Dr. Thea F. Mikkelsen dari University of Oslo dan rekannya.
Bagi perokok paling berat, resiko menopause dini hampir dua kali lipat. Namun, perempuan yang dulunya merokok, tapi berhenti setidaknya 10 tahun sebelum menopause, pada dasarnya kurang mungkin untuk berhenti menstruasi dibandingkan dengan perokok sebelum usia 45 tahun.
Ada bukti bahwa merokok belakangan dalam kehidupan membuat seorang perempuan lebih mungkin untuk mengalami menopause dini, sedangkan perokok yang berhenti sebelum berusia setengah baya mungkin tak terpengaruh, kata Mikkelsen dan timnya di dalam jurnal Online, BMC Public Health.
Mereka meneliti hubungan lebih lanjut dan menetapkan apakah menjadi perokok pasif juga mungkin mempengaruhi waktu menopause. Para peneliti tersebut mendapati bahwa hampir 10% perempuan memasuki menopause sebelum usia 45 tahun.

KEBIJAKAN PEMERINTAH
Menurut Menkessos, pertumbuhan yang sangat cepat ini membuat Indonesia diperkirakan akan mencapai rekor, terutama dengan berbagai masalah kesehatan yang cukup berat, di antaranya berkaitan dengan rokok. Sementara itu diakui Menkessos, larangan membatasi aktivitas merokok di tempat umum masih belum bisa dilakukan lebih tegas.
Meski PP nomor 81/1999 yang diperbarui dengan PP 38/2000 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan sudah diberlakukan, tetapi diakui pula, law enforcement-nya belum ada sehingga belum memiliki kekuatan.
detikcomTingginya target penerimaan negara dari cukai rokok yang mencapai Rp 17 triliun pada anggaran 2001 dinilai telah menyebabkan pemerintah tidak konsisten menegakkan PP No.38/2000 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan.
Komisi VII DPR mendesak untuk mengatur masalah rokok itu dibuat dalam bentuk UU, sehingga masyarakat akan mempunyai posisi tawar yang cukup kuat. Disamping itu, DPR akan dapat melakukan pengawasan yang ketat terhadap pemerintah maupun industri rokok.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) akan menindak tegas perusahaan rokok yang menayangkan iklan rokok di media elektronik di bawah pukul 21:30 waktu setempat. “Bila teguran ini tidak diindahkan, BPOM akan melakukan upaya hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya. Iklan rokok yang melanggar ketentuan PP No.81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dan PP No.38 tahun 2000 tentang Perubahan Atas PP no 81 tahun 1999 akan dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp100 juta. Penerimaan cukai rokok pada tahun 2000 mencapai Rp 10,27 triliun, sedangkan belanja kesehatan akibat merokok sesuai data dari Ditjen POM Depkes pada tahun yang sama mencapai Rp 11 triliun.

Bahaya Merokok Untuk Pelajar

A. Manfaat Menjaga Kesehatan Diri

Setiap orang harus menjaga kesehatannya supaya memiliki jasmani dan rohani yang kuat dan sehat, sehingga dapat menjalani hidup dan kehidupannya. Untuk menjaga jasmani yang kuat dan sehat diperlukan rohani yang kuat dan sehat pula artinya rohani yang tidak mudah tergoda oleh berbagai godaan yang dapat menjerumuskan diri pada perbuatan yang merusak jasmani.
Olahraga menjadi faktor pendukung dalam menjaga kesehatan diri sendiri. Salah satu hal yang menjadi faktor rusaknya kesehatan jasmani dan rohani adalah merokok . Kita harus berpikir jauh ke depan bahwa merokok dapat merusak kesehatan. Caranya dengan menghindari mengkonsumsi atau melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dapat mengganggu kesehatan, seperti merokok. Karena kebiasaan merokok dapat mengakibatkan ketergantungan yang dapat menganggu kesehatan.
Rokok sendiri adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah . Dan merokok pada awalnya adalah keperluan spiritual, seperti memuja dewa atau roh dari suku bangsa Indian di Amerika.

B. Bahaya Kebiasaan Merokok

Saat ini, terdapat 1.100 juta penghisap rokok di dunia. Tahun 2025 diperkirakan akan bertambah hingga mencapai 1.640 juta orang. Setiap tahunnya, 4 juta orang meninggal dunia karena kasus yang berhubungan dengan tembakau. Tahun 2030, gambaran ini akan meningkat mencapai angka 10 juta. Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1999, sekitar 250 juta anak-anak di dunia akan meninggal karena tembakau apabila konsumsi tembakau tidak dihentikan
Merokok sangat berbahaya bagi kesehatan, karena di dalam rokok sendiri terdapat ribuan unsur zat kimia yang terkandung. Dengan merokok, sama saja dengan menggunakan zat kimia secara tidak langsung dan juga menghancurkan organ-organ tubuh.
Secara garis besarnya, merokok dapat membahayakan kesehatan tubuh. Berdasarkan penelitian dokter, berbagai jenis kerugian merokok, yaitu:
1. Timbulnya penyakit kanker (kanker darah, kanker otak, kanker kulit)
2. Terjangkitnya penyakit jantung (kelainan jantung)
3. Timbulnya bercak-bercak di paru-paru (paru-paru berlubang)
4. Penyakit ginjal (karena tidak berfungsinya ginjal)
Menurut survei di beberapa SMP di Jakarta, setiap siswa di sekolahnya mulai mengenal bahkan mencoba merokok dengan presentase 40% sebagai perokok aktif yang terdiri atas 35% putra dan 5% putri. Dan berdasarkan pemantauan lanjutan dari para pelajar yang merokok itu sebanyak 25% Drop Out.
Kebiasaan merokok bagi para pelajar bermula karena kurangnya informasi dan kesalahpahaman informasi, termakan iklan atau terbujuk rayuan teman. Diperoleh dari hasil angket Yayasan Jantung Indonesia sebanyak 77% siswa merokok karena ditawari teman.
Sehingga Yayasan Jantung Indonesia mendapat kesimpulan:
1. Dengan merokok dapat membuat pandai bergaul
2. Orang yang merokok terkesan lebih keren
3. Merokok meningkatkan prestasi belajar
4. Merokok dapat menghangatkan tubuh
5. Merokok membuat kelihatan dewasa
6. Merokok membuat penampilan lebih keren.
Hasil kesimpulan itu tidak benar, karena orang merokok tidak akan mungkin mendapat prestasi, penampilan dan lain sebagainya. Justru orang yang merokok mukanya terlihat pucat, mata agak merah dan berair, giginya kuning kehitam-hitaman, bibirnya tidak merah terang agak kehitaman, bau mulut dan bau badan
Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 402/Tahun 1990 yang isinya bahwa sekolah di DKI Jakarta bebas rokok. Berdasarkan Peraturan daerah No.2 tahun 2005 ditetapkan larangan merokok di tempat-tempat umum di DKI Jakarta
Pemerintah juga diharapkan membuat kebijakan mengenai distribusi dan promosi rokok di masyarakat, karena menurut hasil survei Sensus Nasional tahun 2004 jumlah perokok di usia 19 tahun meningkat menjadi 78,2% dari 68,8% pada tahun 2001.

C. Zat Kimia dalam Rokok

Asap rokok membahayakan bagi yang menghirup, menghisap atau terhisap, karena setiap asap rokok mengandung kurang lebih 4000 unsur zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Beberapa zat berbahaya yang terkandung di dalam rokok, misalnya :
1. Nikotin
Nikotin adalah jenis zat yang terdapat pada tembakau, bersifat racun dan menyebabkan ketergantungan atau ketagihan. Rokok yang dihisap, nikotinnya akan memasuki otak dan berpengaruh pada saraf otak, serta menyebabkan jantung bekerja lebih cepat dengan meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Nikotin juga dapat mengakibatkan lemahnya organ tubuh, antara lain:
1. Kulit kurang darah dan kurang oksigen
2. Wajah agak pucat , kaku agak kebiruan
3. Penyumbatan pembuluh nadi (serangan jatung)
4. Penyumbatan pembulu nadi otak (stroke)
2. Tar
Salah satu unsur dalam asap rokok adalah tar yang sangat cepat menyebabkan gejala penyakit kanker karena terkandung bahan-bahan karnosigen, yaitu unsur kimia penyebab kanker.
3. Karbon Monoksida
Karbon monoksida (CO) adalah gas beracun yang paling berbahaya, karena memopunyai daya ikat yang kuat terhadap butir darah merah yang seharusnya membawa oksigen. Jadi, jika nikotin menyebabkan peningkatan kebutuhan akan oksigen, CO justru mengurangi pemasukan oksigen dalam darah. Keadaan ini menyebabkan perokok sering bernapas pendek dan kurang stamina. CO juga mempercepat penyempitan pembuluh darah terutama sekali pada jantung dan kaki

D. Pengaruh Rokok Bagi Kesehatan

1. Jangka Pendek
a. Asap rokok dapat merangsang batuk
b. Asap rokok menyebabkan saluran napas menyempit yang berlangsung antara 30-40 menit
c. Asap rokok melumpuhkan peralatan pembersih pada saluran napas yang menyebabkan napas sesak
d. Bahan-bahan beracun dari asap rokok diserap oleh darah masuk ke seluruh tubuh, sehingga menimbulkan pusing dan sakit kepala.
2. Jangka Panjang
a. Terjadinya gangguan fungsi paru-paru secara potensial
b. Menyebabkan produksi lendir pada saluran napas berlebihan setelah kurang lebih 15 tahun merokok
c. Penyempitan saluran napas yang menetap dengan gejala sesak napas
d. Sebesar 80% dari pengaruh rokok dapat mengakibatkan kanker
e. Memperbesar tingkat penyempitan / pengerasan pembuluh darah
Secara khusus tembakau menimbulkan dampak-dampak negatif, khususnya bagi perempuan, antara lain:
- Penelitian Joseph Cullman terhadap 17.000 perempuan hamil dan bayi yang baru lahir di Inggris menunjukkan bahwa bayi dari perempuan yang merokok memiliki peluang lebih besar untuk memiliki berat tubuh lebih rendah dan beresiko tinggi untuk lahir hidup atau, kalaupun bertahan hidup paling lama 28 hari
- Merokok penyebab utama kanker tenggorokan. Sekitar 90 persen kematian perempuan yang mengidap kanker tenggorokan diakibatkan oleh kebiasaan merokok. Tahun 1950, kematian perempuan akibat kanker tenggorokan terhitung hanya 3 persen, namun pada tahun 2000 meningkat menjadi 25 persen.
- Perempuan merokok memiliki peningkatan resiko mengidap stroke ischemic dan peripheral vascular atherosclerosis. Penghentian kebiasaan merokok mengurangi resiko penyakit hati koroner satu hingga dua tahun setelah berhenti merokok
- Beberapa penelitian menyatakan bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan fungsi menstruasi, misalnya rasa nyeri dan menstruasi yang tidak teratur. Perempuan merokok mendapatkan masa menopause lebih cepat daripada perempuan yang tidak merokok
- Merokok selama kehamilan beresiko terhadap pecahnya membran secara prematur, plasenta terpisah dari uterus, dan lokasi plasenta yang tidak normal
- Perempuan merokok lebih cepat mengalami kerapuhan tulang

E. Upaya Pemerintah

Untuk itu, berbagai langkah perlu segera dilakukan pemerintah, baik upaya penanganan terhadap zona perokok aktif maupun pasif. Langkah-langkah tersebut bisa ditempuh dengan:
(1) membuat dan memasukkan materi bahaya merokok pada kurikulum di sekolah dasar dan menengah, sekolah kedokteran atau sekolah paramedis;
(2) membuat kegiatan yang mendukung antirokok dan bahaya merokok pada usia sekolah.
(3)membangkitkan kesadaran tentang bahaya merokok, kecanduan rokok, dampak sosial ekonomi akibat rokok pada publik (terutama anak-anak dan remaja);
(4) melakukan counter marketing guna mengurangi atau meniadakan keterlibatan industri rokok, terutama pada usia anak dan remaja
Sosial dan kejiwaan
Bahaya merokok bagi pelajar juga mencakup masalah sosial. Walau banyak yang beranggapan bahwa merokok adalah tindakan yang keren, banyak pula yang memandang sinis terhadap para perokok.
Pelajar yang merokok bisa saja dijauhi oleh banyak teman karena kebiasaan buruknya ini. Peristiwa seperti ini tentu akan mempengaruhi kejiwaan seorang pelajar. Ia bisa saja menjadi tidak percaya diri, merasa dikucilkan, atau malah akan menjadi pemarah dan pemberontak.
Itulah bahaya merokok bagi pelajar yang patut diwaspadai dan sudah seharusnya dihindari. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pelajar yang merokok, sebenarnya mereka hanyalah korban karena kebanyakan dari mereka mulai menyentuh rokok hanya berawal dari ikut-ikutan.

Selengkapnya......

Kamis, 02 Juni 2011

Bukti ... Jika Malaikat Menyumpal Mulut Fir'aun Sesaat Sebelum Ditenggelamkan

Dari Sa’id bin Jubeir dari Ibnu ‘Abbas radhiya’l-lahu ‘anhuma meriwayatkan: “dua orang Sahabat menghadap Rasulullah (menanyakan tentang Fir’aun). Sabda Nabi s.a.w: “Malaikat Jibril menyumpali mulut Fir’aun dengan pasir, khawatir kalau-kalau akan mengucapkan: la ‘ilaha illa’l-lah”[1]

Hadits di atas umumnya dapat kita temui pada bahasan ayat tenggelamnya Fir’aun, surah Yunus ayat 90, di mana Allah berfirman: “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. 10:90)


Pada detik-detik naza‘nya, malaikat Jibril melihat gelagat Fir’aun akan mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Allah Ta’ala memerintahkan malaikat Jibril untuk mengeksekusi nyawa Fir’aun dengan cara menyumpal mulutnya dengan pasir, supaya tidak sampai mengucapkan keimanan dan pertaubatannya. Akhirnya Fir’aun mati dengan mulut menyon dan jauh dari rahmat Allah s.w.t.(Tafsir Al-Kasyaf, 21 202). Karena iman dan taubat pada saat ini, tiada guna sama sekali.

Mengutip Tafsir Syeikh Sa’di, ada dua keadaan di mana iman tidak berguna pada saat itu yakni beriman di ujung sakarat dan beriman menjelang hari Qiamat, sesuai firman Allah dalam surah Al-Mu’min:85.

Fir’aun wafat di Laut Merah atau laut Qalzum atau sebelumnya populer dengan nama FAM AL-HAIRUTS, dekat terusan Suez, pada tanggal 10 Muharram dan karena itulah ada syari’at shaum ‘Asyura, setelah sebelumnya menyatakan taubat dan yakin akan Tuhan Allah s.w.t. Dan inilah taubat yang tertolak (Qs. 10:90)

Fir’aun kafir sejak orok

Di antara perkara yang aneh dalam din Fir’aun adalah fithrah kejadiannya. Umum-nya bayi diciptakan oleh Allah dalam keadaan fithrah, tapi tampaknya hadits ini dikecualikan terhadap bayi Fir’aun. Karena sejak orok sudah kafir di dalam perut ibunya.

Bunyi hadits “wa khalaqa fir’aun fi bathni ummihi kafiran,” dan Fir’aun dijadikan (oleh Allah) dalam perut ibunya dalam keadaan kafir. (HR. Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil dan Imam Thabarani dalam Al-Ausath). saat menyampaikan hadits ini Rasulullah s.aw sedang berkhutbah di hadapan para sahabat pada sore hari.

Ahli sejarah terpecah dua; ada yang bilang Fir’aun itu nama orang (ismul ‘ajam), yang lain dan terbanyak mengatakan Fir’aun itu gelar bagi raja yang lupa daratan. Tapi yang jelas, nama ini pertama kali dipakai oleh Walid bin Mush’ab bin Rayyan, keturunan Lois bin Sam bin Nuh.

Fir’aun Musa adalah Ramses II atau Ramses Akbar, yaitu dinasti yang ke-19 yang naik tahta pada 1311 SM. Ada yang mengatakan bahwa, Fir’aun ini juga bernama Maneftah (1224-1214 SM) yang Allah binasakan bersama 700.000 pasukannya di Laut Merah, mayatnya Allah selamatkan, pada waktu syuruq (matahari terbit), menurut Tafsir Muqatil (Qs. 10:90).

Mayatnya diawetkan dengan pembalseman dalam bentuk mumi yang kini disimpan di museum Mesir di Kairo dengan berbagai macam hikmah sejarah. Mumi ini ditemukan pertama kali oleh purba-kalawan Perancis, Loret, di Wadi al-Muluk (lembah raja-raja) Thaba Luxor Mesir pada tahun 1896 M. Pembalutnya dibuka oleh Eliot Smith, seorang purbakalawan Inggris pada tanggal 8 Juli 1907.

Sebuah gelar yang mengarah pada kultus. Pada saat inilah gelar bisa makan tuan. Gelar menyeret pemiliknya pada kesombongan, sehingga bisa lupa daratan. Fitnah ghuluw (kultus, fanatik) muncul dari pemujaan gelar yang kelewat batas.

Perhatikanlah pesan indah dari Imam as-Syafi’i rahimahullah berikut ini: Berkata Imam as-Syafi’i: “aku benci orang yang kelewat mengagungkan makhluk, hingga menjadikan kuburannya (di/sebagai) masjid. Aku kuatir terjadi fitnah atasnya dan fitnah atas orang sesudahnya.”

[1]Shahih, HR. Turmudzi [3107]; Ahmad [2145], at-Thabari [11/163]; Ibnu Hibban [6215]; Nasa’i [6/363]. Dishahihkan oleh Syeikh Albani dalam as-Shahihah [2015] dan Shahih Sunan Turmudzi [2484]. Dishahihkan juga oleh Syeikh Syu’aib Arnouth, Tahqiq Shahih Ibnu Hibban [14/98]

Selengkapnya......

Selasa, 24 Maret 2009

Islam without Ulama’s Fatwa

Yet, if Indonesia is consistent in emulating Saudi’s standpoint, there will be more prohibitions. The Shias may be exterminated since “according to official Saudi teachings, Shias are a Jewish conspiracy (p. 151). Furthermore, radical mass organizations would not be allowed to exist in Indonesia if Indonesia constantly copies Saudi and other Arab countries. Look at this paradox: in fact, Hizbut Tahrir that is anti-democracy and anti-nation state, can only exist and develop in democratic European countries and –don’t forget- in Indonesia!


You may think that Islam will be developed well within free and democratic western countries; therefore, Muslim communities in these countries will demonstrate the enlightened and civilized face of Islam. Before you think so, it is better for you to reconsider Irshad Manji’s proposals. Just exactly because she was concerned on the unhealthy development of Islam, she spoke up and wrote about ”The Trouble with Islam Today” in the form of an open letter.


From the sociological perspective, it is quite reasonable that in Saudi Arabia, Pakistan, Afghanistan and Nigeria, the violent Islam (Manji called it desert Islam) has been widespread due to its alliance with tribalism, although we should not always justify that. But how come it arrive in Europe and North America? And what about South East Asia?

In fact, Manji watched this astounding reality in Toronto, Canada. She was stunned: “I was nauseated. Whatever the culture in which Muslims lived, be it rural or digital, and whatever the generation, whether symbolized by a 1970s mosque for immigrants or by a media-connected city for the new millennium, Islam emerged as desperately tribal. Did we ever need a reformation.” (p. 30).

Manji was serious about the urgency of Islamic reform, since she was about to lose her own faith in Islam. Besides the necessity of ijtihad, reform also requires incessant criticism and self-introspection, instead of making excuses. “Reform isn’t about telling ordinary Muslims what not to think, but about giving Islam’s 1 billion devotees permission to think.” (p. 36). That is what she expected from the Muslim society today.

She was fortunate for having the luxury and privilege to criticize Islam since she lived in a country that supports freedom and openness. She refused to remain silent despite of receiving many terrors and intimidations from her Muslim fellows. She took silence as her enemy, particularly the silence of the moderate Muslims over the prevailing Islamic extremism.

Manji declared herself as a Muslim Refusenik, which refers to the Soviet Jews who championed religious and personal freedom under the communist Soviet Union’s regime. “I am a Muslim Refusenik. That doesn’t mean I refuse to be a Muslim; it simply means I refuse to join an army of automatons in the name of Allah.” (p. 30)

Manji’s talent of being a refusenik was apparent since her very young age, when she criticized the unfair and inhumane Islamic doctrines. She profoundly admired ijtihad, the Islamic freethinking ethos. Nevertheless, the gate of ijtihad has been closed -and that is exactly what the fundamentalists wanted- throughout determination of many onerous prerequisites that impedes the implementation of ijtihad.

Manji believed that ijtihad does not need many requirements. The only thing Muslim need is the sensibility for justice and humanitarian values. She asserted: “Look, we don’t have to be prize-winning intellectuals or ulamas to exude the spirit of ijtihad. We need to express our questions about Islam openly. And we’ve all got questions cached away in our consciences.” (p. 67).

The aptitude and proficiency of raising critical and radical inquiries about Islam becomes the magnet of this book. Manji will disappoint people who want to find instant answers or strict guides about Islam. She only led Muslims to employ the most neglected and abandoned gift from God, namely reason. Sometimes, even the Islamic explanation from the progressive Muslim figures would seem absurd and groundless before Manji’s critical questions.

One of them is Jamal Badawi, a renowned Quranic scholar. He confidently interpreted the Quranic verse “Women are your fields. Go, then, into your fields when you please”, as a defense of foreplay. This analysis sounds enlightened and progressive.

However, Manji investigated further the words “when you please”, doesn’t that qualifier give men undue power? Which paradigm does Allah advocate –Adam and Eve as equals, or women as land to be plowed on a whim? (p.35)

Manji raised many radical and brilliant questions in this book. Not answer, question only. Isn’t brilliant question (husnus su’âl) half of knowledge (nishful ‘ilm) just as being taught in pesantrens?

Manji analyzed that Islam plane is not directed toward the safety zone of tolerance and human rights. The plane was hijacked! Exactly like Mohamed Atta did it on 11 September 2001. Who hijack it? Manji implicitly said that petrodollars is campaigning the desert Islam among many Muslim countries.

The desert Islam is encroaching on Afghanistan, Sudan, and Pakistan. Manji was also concerned upon the invasion of desert Islam on Southeast Asia and said, “local cultures are now being ignored in places such as Indonesia and Malaysia because they are seen as insufficiently Islamic (meaning Arab)”. Quoting V.S. Naipaul, she affirmed: “…that no colonialization had been so thorough as the article of Arab faith that everything before (it) was wrong, misguided, heretical” (p. 141). We do think so!

Manji observed that, “those distant from the desert didn’t steer the general direction of Islam. Arabia did.” (p. 146). She might be inaccurate and exaggerating in this matter. However, let us regard it as a warning alarm. The results and victims were there. Pakistan is halfheartedly leaving the lion’s mouth as if crocodile is waiting to swallow it soon!

Therefore, it is relevant to question what did middle-class Muslims in every Muslim country do in facing the global virus of desert Islam. In Pakistan, “Most allowed themselves to go with the flow of brutal fundamentalism” (p 127). They rolled out the red carpet for extremism and threw away the tolerant Islam initiated by the founder of their country, Ali Jinnah.

For this reason, Manji suggested the urgency of asserting non-Arabian Islam in many Muslim countries. She wondered why non-Arab Muslims who were 87% in number must be inferior to the Arab Muslims who were only 13% out of the wideworld’s Muslim population. In Indonesia, this irony is reflected by the mind-set of Indonesian Ulama Council and many Islamic groups who submit upon the fatwa of Saudi and OIC countries in the matter of Ahmadiyah.

Yet, if Indonesia is consistent in emulating Saudi’s standpoint, there will be more prohibitions. The Shias may be exterminated since “according to official Saudi teachings, Shias are a Jewish conspiracy (p. 151). Furthermore, radical mass organizations would not be allowed to exist in Indonesia if Indonesia constantly copies Saudi and other Arab countries. Look at this paradox: in fact, Hizbut Tahrir that is anti-democracy and anti-nation state, can only exist and develop in democratic European countries and –don’t forget- in Indonesia!

Manji observed the similar hypocrisy among Muslim communities in Europe and United States, in which they demanded freedom to practice intolerance despite of the fact they breathed the air of freedom and tolerance. Considering Manji’s reasoning, Indonesian Muslim must assert toward our Muslim fellows in Arab: This is a democratic country, Seikh! Please stop telling us about “the right Islam”, furthermore guiding us on how to treat Ahmadiyah!

Along the rejection toward desert Islam, Manji suggested Muslims to strive for universal bright achievements of human civilization. According to Manji, “...Islam is potential of being an expedient and humanitarian religion. It is us, Muslim community, who must have the courage to change”. It is the support for Islam’s adaptation with the positive values, which is the core of Manji’s criticism in this book.

Manji “is not a self-hating Muslim waging a vendetta against Islam” (p. 234), as many has accused her. It is true that she had a bad experience about Islam. But it did not remove her faith in Islam, and all she wanted is simple: “If Islam is flexible, then it can adapt for good and not for ill, right?” (p. 22).

This book stimulates anyone who search for challenge in his or her faith. It calls Muslims to exercise their consciences based on direct communication with God, instead of practicing Islam as dictated by certain ulamas. The prologue of the book written by Khaleel Mohammed, Imam and Professor in San Diego State University, United States, described it well. “If Muslims listen to her (Manji), they will stop listening to people like me, an imam who spent years at a traditional Islamic university.”


I think, the kind of Islam that Manji has been yearning for is Islam without ulama’s fatwa. If many Muslims were as critical and brilliant as Manji, they would no longer need anymore fatwa from the ulama.

Selengkapnya......

Soft Power for the Islamic Movement

If Islam were superior, why isn’t there any Muslim country which is progressive and leading in terms of education, technology, culture or economy? Many of Muslim countries were even black-listed because of their poor appreciation upon women and human fundamental rights, the fragility of government bureaucracy and corruption. In the academic level, none of the Islamic universities were listed as the international highest standard. Definitely, these complex social matters cannot be solved by yelling “Allahu akbar” and scapegoating the west.


Violence has been widespread in Muslim regions ranges from Saudi Arabia to Indonesia. Terror, bombing, coercion, abduction, and destruction were rampantly committed and indicating a horrifying escalation. This seems to verify several theses saying that Muslim world is the world of violence and barbarism, and Islam is religion that produce violent texts and export militant-terrorists across the globe (Edward Said, Covering Islam).

Because of this phenomenon, the image of Islam as religion of peace, tolerance, and uphold civility began to become overcast. The Islamic slogan as “rahmatan lil alamin” and “peaceful religion” is less popular than the ongoing violence and vandalism committed by radical Muslims in wider part of the world.

It is true that sometimes, the process of western media’s report and the opinion of (some) western orientalist, politician, religious figure, and scholar in general were unfair. They will directly point their fingers and associate any violence with “the nature” of Islam as a violent religion whenever it occurs in the Muslim countries. But when the very similar violence takes place in non-Muslim countries (such as Israel, North Ireland, Eastern Europe, Soviet Union, China or Latin America) they have never associate it to particular religion. When Muslim terrorist attacked WTC and Pentagon on 11 September 2001, many began to find the Quran to check out the relationship between Islam and global terrorism.

The political and religious observers were busy researching the roots of Islamic terrorism. Bernard Lewis book, What Went Wrong? which examined the historical roots of terrorism and violence within Islam became the reference for “anti-Islamic” group to support their argument about Islam as “violent religion”. Books of Angel Rabasa, a political analyst in RAND Corporation, especially on “global terrorist network”, were often quoted in printed medias. On the contrary, when George W. Bush government attacked Afghanistan and Iraq, Muslims were not that enthusiastic in buying Bible to find the Christian doctrine on war and terrorism.

Several explanations is available behind the increasing violent phenomenon in the Muslim world today. The social gaps between Muslim and non-Muslim, the East and the West, becomes a factor. There is a deep economical gap between the barren “muslim world” and the welfare “western world”. In the cultural aspect, we also see “western culture “ domination is infiltrating the Muslim world. Technological advance become the main determinant of this cultural domination. Muslim regions have to consume an alien cultures which were “smuggled” throughout TV, movie, internet etc. While in the political aspect, the US infiltration, domination and pressure (as the western symbol) upon the “third word” regions is becoming more apparent.

This fact drives the “multicultural liberal” group to divide the world into two extreme categories namely “the oppressors” which is represented by West-Christian-Jews (mainly US) and “the victims” which is represented by Muslims. This oppression annoyed several “narrow minded” Muslims and incited them to act violently. In other words, violence can be observed as a “reflection” of their fear as well as their cultural and political incapability to face the domination, hegemony and penetration of the global western culture. Thus, to justify their violent actions, they exploited the Islamic text, doctrine, tradition, history and discourse as the theological justification over their brutal actions. They also misinterpreted the doctrine of jihad as an offensive acts against the so-called “enemies of Islam”.

What we often hear from the Muslim fundamentalist is that they did so for the sake of “defending God” and “the establishment of Islam”. They took confrontation and violence as the only path to demonstrate the Islamic supremacy and power as a religion which is superior to everything (ya’lu wala yu’la alaih). On the contrary, the persuasive, peaceful and nonviolent movement is regarded as a form of cowardness and inferiority.

This is definitely a ridiculous and apologetic paradigm. If Islam were superior, why isn’t there any Muslim country which is progressive and leading in terms of education, technology, culture or economy? Many of Muslim countries were even black-listed because of their poor appreciation upon women and human fundamental rights, the fragility of government bureaucracy and corruption. In the academic level, none of the Islamic universities which were listed as the international highest standard. Definitely, these complex social matters cannot be solved by yelling “Allahu akbar” and scapegoating the west. Those yells and blames were like an Indonesian proverb “buruk muka cermin dibelah” (ugly face and the mirror is shattered).

In the future, Muslim societies need to reformulate a brilliant, peaceful and civilized strategies for the Islamic movement. Violence only gives Islam a bad name and increases the tension between Muslim and non-Muslim. Violence will breed another new violence and it will afterward entrap humankind in the “vicious circle” of violence. Violence is also against the fundamental spirit of Islam as “religion of peace”. The word Islam according to The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic means “submission, acceptance, and reconciliation” (upon God’s will) and also “peace, salvation, security, and welfare” (Cowan, ed. 1976: 425-426). Violence is also not the best resolution to solve the problems of the Muslim countries, including Indonesia (Abu-Nimer, Nonviolence and Peace Building in Islam).

Thus, the Islamic movements must prioritize soft power approach throughout the mediums of culture, knowledge, education, diplomacy, and political tools which were carried out by nonviolent means and cross-civilizational dialog (Nye, Soft Power: the Means To Success in World Politics). In order to actualize “soft power” strategy and approach, several NU intellectuals in the United States and Canada have established Komunitas Nahdhatul Ulama Amerika Serikat dan Kanada (Nahdlatul Ulama Community of the United States and Canada). This establishment aims to bridge the tension and gap among Muslim & non-Muslim and also to solve the problems of Islam and humanity.


Selengkapnya......

Sabtu, 21 Maret 2009

Ahmadiyah’s Controversy in Indonesia — Vying for an Authority

The whole furor and controversy over Ahmadiyah sect is just a parcel of a larger dynamic in the Indonesian politics. Over the last ten years after the unleashing of democratic movement in Indonesia, one development stands out to be worthy of our analysis, namely the radicalizing trend among Muslim society. This trends manifested in various form, including the vigorous campaign launched by Islamists to adopt and implement sharia or Islamic law. The entire campaign to dissolve Ahmadiyah, to me, cannot be analyzed separately from this larger trend.

Looking at Indonesia solely through its constitution, you cannot help but to think that it is a modern state whose facade is not so different from the United States or Western European countries. All basic requirements you need to create democracy are meticulously met by Indonesia, ranging from free and fair election, protection of basic civil rights, freedom of the press, freedom of association, to a robust civil society–every thing, you name it. Indonesian press is now entitled a relatively full freedom to publish whatever it thinks fit to put on its page, including, of course, criticizing the way government officers conduct public affairs–something that is hardly to happen in the previous regime.

Indonesian constitution lends also a full protection of religious freedom. Theoretically speaking, people are free to exercise their freedom to embrace any religion, faith, mazhab, and denomination of their choice. You are free to be Muslim, Christian, Hindus, Budhist, Confucian, and so forth. As a Muslim, you are also free to be Sunni or Shi’i, as well as free to affiliate with any Islamic organization you think fit to express your way of being Muslim.

But constitution is not the best lens to have a glimpse into the nature of any state and society, since it is only what Indonesia’s adage says “hitam di atas putih”, a mere ink on a paper. What is more important is to look at how that ink materializes into reality, and to what extent state policies live up to the lofty ideals espoused in the constitution. If this is the stick by which you judge Indonesia, I am afraid that it fails, particularly with respect to religious freedom.

The recent phenomenon is the whole furor over what is considered as a “deviant sect” in Islam called Ahmadiyah. The problem of Ahmadiyah has been around since early on even before Indonesian independence. This sect that was groomed in Pakistan came to Indonesia in 1925, and it spurred a controversy right away as it did anywhere it spread. This sect made a claim that raised the eyebrow of Muslim, namely that its founder is a new “prophet” that came after the Prophet Muhammad. Muslims who adhere to mainline Islam believe in the finality of prophecy in Islam. Ahmadiya’s doctrine on prophecy runs at odd with this doctrine. To say that new prophet possibly emerges is as odd to Muslim ear as to say that Jesus is not resurrected on the third day after his crucifixion to Christians.

From its early stage of its introduction to Indonesia, many Muslim scholars objected to the doctrine of Ahmadiyah, although Ahmadiyah should be credited with its good work to introduce Islam to the rank of Muslim intelligentsia in 30s in a way that resonates with Modern mind-set. Bung Karno, the first Indonesian president, befriended many intellectuals and activists who are either member or sympathetic to Ahamdiyah’s version of Islam. The first “official” translation of the Quran into Indonesian language conducted under the auspice of Ministry of Religious Affairs in 60s was pretty much influenced by Ahmadiyah’s writers. In nutshell, Ahmadiyah has successfully made an inroad into the Indonesian Islamic discourse through its committed missionaries and propagandists.

Throughout President Suharto’s rule (1968-1998), Ahmadiyah still enjoyed a full freedom to conduct its proselytizing activities which seems to be robust and aggressive as it is the case anywhere. In early 80s, the first “fatwa” or religious edict was being issued by the Indonesian Council of Ulama (MUI) in which this sect was for the first time officially deemed “deviant”. However, the edict didn’t go far as to demand the government to intervene to dissolve the movement.

The crucial shift occurred after reformasi (political reform) that followed the downfall of Suharto and his regime in May 1998. A series of attacks on Ahmadiyah’s mosques and its member escalated right after the issuance of a second fatwa by MUI on July 29th, 2005 in which Ahmadiyah is again labeled as deviant sect. However, the fatwa took different course this time. It was followed by a massive campaign conducted by radical and fundamentalist Islamic groups to press for the dissolution of Ahmadiyah as an organization and movement. There are certain groups that are worthy to be singled out as “engineers” of this campaign, namely Hizbut Tahrir, FUI (The Forum of Islamic Umma or Community) and and FPI (Front of Islam’s Defender).

The campaign succeeded to achieve its goal, marked by the issuance of the Joint Ministerial Decree (Surat Keputusan Bersama, known as SKB) in June 9th, 2008. The decree falls short of fulfilling the demand of radical Islamists to dissolve forever the Ahmadiyah movement. It mandates instead to freeze the proselytizing activities of Ahmadiyah, particularly its doctrine of prophecy. As noted by many observers, the decree is quite ambiguous. The question that is left un-addressed is whether the Ahmadi people are still free to conduct their religious activities in their mosques and madrasahs.

No matter how you interpret the decree, the fact remains the same: the government seems to fall into the trap set up by the Islamist groups that seem to be exerting its role recently in the Indonesian political landscape. By all means, the decree is evidently at odd with the constitution that insures the freedom of religion and faith.

How do we interpret this recent development as it unfolds in the case of Ahmadiyah?

Ahmadiyah is not a major and mind-boggling issue for Muslim rank-and-file. Of course, Muslim believe that the Prophet Muhammad is the final prophet. However, many of them won’t roll in anger if somebody in the corner of Islamic world show up and claim to be a new prophet. They will certainly object to that claim, but will never ever run into an amok simply because of that minor issue. If the course of event proceeds in the opposite direction, something must have gone wrong in one way or another!

The whole furor and controversy over Ahmadiyah sect is just a parcel of a larger dynamic in the Indonesian politics. Over the last ten years after the unleashing of democratic movement in Indonesia, one development stands out to be worthy of our analysis, namely the radicalizing trend among Muslim society. This trends manifested in various form, including the vigorous campaign launched by Islamists to adopt and implement sharia or Islamic law. The entire campaign to dissolve Ahmadiyah, to me, cannot be analyzed separately from this larger trend.

The main actors in this campaign are obviously Islamist groups such as Hizbut Tahrir, FUI and FPI. Hizbut Tahrir is worth mentioning here. I venture to claim that Hizbut Tahrir is the only group that has the highest stake in this campaign for a simple reason, namely to gain a credibility and credential in the eye of Indonesian Muslim who are mainly Sunni as an “Islamic voice”. Hizbut Tahrir has been confronted with resistance and political repression throughout Muslim countries, particularly in the authoritarian monarchies in Middle East. Indonesia is the only country where it finds a fertile soil to thrive. The first international conference of caliphate (Islamic global state) was conducted in Jakarta on August 2006. After its kicking out from UK on the allegation of its involvement in London bombing in 2007, Hizbut Tahrir sought an alternative base to launch its global movement to establish the Islamic caliphate. Where else does it fit better than Indonesia?

Ahmadiyah issue is also being politically exploited by other Islamist groups to earn reputation as an “authority” that deserves the respect of Muslim society. There are two major Islamic organizations that represent Islamic moderation in Indonesia, i.e. Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah. However, the image of “moderation” is looked upon with deep suspicion by other Islamic groups, especially the Islamist and radical ones. Moderation, in their eye, amounts to being playing into the game of Washington. It is incumbent upon these groups to wrestle the authority to speak about Islam from these two moderate organizations.

In other words, the entire debate on deviant sect in Islam is not something that has a merit on its own, but rather a proxy for differing Islamic groups which vie for an authoritative position as the sole “voice” of Islam. What is regrettable is that Indonesian government slipped or deliberately let itself trapped in this dangerous game. As stated in the constitution, the Indonesian government is tasked with only one thing, i.e. to respect and guarantee the right of all its citizens to exercise their freedom to embrace any religion and faith of their choice. The state has no stake whatsoever in delineating what is “straight” and what is “crooked” with respect to religious doctrinal debate within any community![]

Selengkapnya......

Obama, Gaza is Waiting for Messiah!

Obama’s readiness and ability to use the momentum will deliver double outcomes: the positive image of the US will restore and the seeds of radicalism and terrorism will lose its justification. Quoting Irshad Manji, Obama have to prove that the US is rather a non-fulfilled expectation than the main villain in the Middle Eastern turmoil.

Israeli’s withdrawal from Gaza prior the inauguration of the new president of the US indicated that they did not want this event to take place along with heating situation in the Middle East, and thus the first presidential speech will consist of denunciation against them. This strategy succeeded since Obama did not even mention anything about Gaza tragedy. Indeed, Obama said to have a new approach to the Muslim world, and we can only wonder how the implementation would be.

Surely, he will be more focused on US internal issues in his early administration despite of the fact that foreign policy will also be one of the US concerns. Therefore, many observers recommend to not being optimistic on Obama for solving the inherited problems from his forerunner (Iraq war, Guantanamo bay prison, financial crisis), and the old Palestine-Israel conflict. What can Gaza expect from Obama?

Mandate for Obama

Gaza tragedy urges Obama for not turning his face from the main issue: final solution for Arab-Israeli conflict. A public opinion poll conducted by the Centre for Strategic Studies at the University of Jordan tells that 84,5% of the Jordanians believe that the US’ image will improve along with the end of Palestine-Israeli conflict, the unity of Iraq, and comprehensive evaluation to the policy of war against terrorism.

The poll, which is conducted in November 2008, identifies the main issues in the Middle East namely Palestine-Israel conflict, Iraq war and the impact of war against terrorism. Fifty seven per cent of respondents think the U.S. president-elect will help his country portray a more positive image in the Arab world (http://www.alquds.com, 15 Jan 2009). Although this poll did not comprehensively represent the opinion of Middle Eastern people, the number indicates hope and mandate for Obama to solve the six decades of conflict in the Middle East.

A survey conducted by Palestinian Center for Policy and Survey Research (PSR) in Ramallah and the Harry S. Truman Institute at the Hebrew University of 1270 Palestinian and 600 Israeli respondents implicitly advised Obama to not administrate the way Bush did. Bush has neglected the Palestine-Israeli peace process and even seeded radicalism and terrorism (http://www.alquds.com, 16/12/2008).

In this survey, majority of the Palestinian (57%) and half of the Israelis (49%) want the US to play a more active role in moderating the conflict. Half of the Israelis and half of the Palestinians think that a more active American involvement will be effective and successful, whereas the other half splits between the skeptics and the extremes, expecting it to have no impact or to fail in any condition.

Interestingly, nearly two-thirds of the Palestinian respondents think that the US intervention will benefit Israel, while thirty five per cent of the Israelis think that it will benefit Palestine. Many of them (39%) believe that it will benefit both parties. This large percentage helps Obama to regenerate the peace efforts expected by both parties. Although the percentage was obtained before Gaza invasion, the poll is regularly conducted and the result is quite stable in the last three years.
Both Palestinians and Israelis are hungry for final solution to the conflict. And yet, throughout Bush’s administration, this became more complicated and there was no momentum to develop the peace efforts.

Carry on Clinton and Arab Peace Initiatives

Post Gaza tragedy, Obama is expected to dive in the peace efforts soon. Obama’s readiness and ability to use the momentum will deliver double outcomes: the positive image of the US will restore and the seeds of radicalism and terrorism will lose its justification. Quoting Irshad Manji, Obama have to prove that the US is rather a non-fulfilled expectation than the main villain in the Middle Eastern turmoil.

Obama will only have to carry on the previous two initiatives of peace. First, US former President Bill Clinton’s initiative in 2000 that is strengthened by Geneva’s initiative (2003). Both initiatives concern: (1) final borders and territorial exchange between Israel and Palestine, (2) Palestinian refugees, (3) the status of Jerusalem, (4) a demilitarized Palestinian state, (5) security arrangement, and (6) end of conflict.

Second, the Arab Peace Initiative that is a quite radical solution to the Arab-Israeli conflict. It offered: (1) Arab recognition of Israel; (2) full normalization of relations with Israel; (3) Israel’s withdrawal from the occupied territories (West Bank, Gaza Strip, East Jerusalem, and the Golan Heights); (4) the independent Palestinian state. Meanwhile, the matter of Palestinian refugees will be solved according to UN General Assembly Resolution 194.

US’ plan to leave Iraq for Afghanistan might be appropriate since there were their enemies: Osama bin Laden and Alqaidah. However, the key issue is how to revive Arab-Israeli peace initiatives after being eight years dormant and was neglected by Bush administration. The question is this: can dying mothers and children of Gaza laid their hope on Obama? This is the call for Obama.

Selengkapnya......

Jenis Koneksi Internet

Dial up = Menghubungkan komputer ke internet melalui sambungan jaringan line telepon. Dengan menggunakan sebuah modem dial-up. Saat online [ connect ] maka telepon tidak dapat digunakan. Perhitungan pulsa telepon berjalan + biaya internet dari provider. max Kecepatan 56kb.


Broadband = Menghubungkan komputer ke internet melalui sambungan jaringan kabel tv, dengan menggunakan modem broadband. Saat online dapat sekaligus nonton tidak berpengaruh. Dan biaya lebih hemat cukup membayar abodemen tv cable + biaya internet provider untuk 24 jam online [ no limit ]. kecepatan mulai dari 64kb - 256kb.

ADSL = Menghubungkan komputer ke internet melalui sambungan jaringan line telepon juga. Namun ADSL menggunakan teknologi yang lebih modern. Saat online jalur telepon tidak terganggu, dapat digunakan dalam kebersamaan. Biaya cukup membayar provider internet dengan sistem perhitungan berdasarkan besarnya kilobyte yang digunakan, koneksi 24 jam online. Kecepatan mencapai 512kb.

HANDPHONE = Menghubungkan komputer ke internet melalui sambungan jaringan handphone. Dapat dihubungkan melalui Bluetooth maupun usb cable data. Saat online jalur telepon juga tidak terganggu. Bisa menggunakan jaringan GSM maupun CDMA. GSM dapat lebih cepat dengan teknologi 3G atau bahkan teknologi terbaru high speed 3,5G. Sedangkan CDMA menggunakan teknologi CDMA 2000 1x hampir setara dengan 3G. Perhitungan biaya hampir sama semua yaitu menggunakan sistem perhitungan per kilobyte. Kecepatan mulai dari 64kb - 2mb.

Selengkapnya......
Berbagi Pengetahuan © 2008 Por *Templates para Você*